Cara Menemani ‘Ibadullah – Mereka yang Telah Dihiasi dan Diajarkan oleh Allah, Adab/Etiquette dalam Mencari Ilmu Surgawi
Dari Realitas Mawlana Syekh Hisham sebagaimana Diajarkan oleh Syekh As-Sayid Nurjan Mirahmadi
A’udhu Billahi Minash Shaitanir Rajeem
Bismillahir Rahmanir Raheem
Alhamdulillah, di bulan suci Safar dan dalam jalan marifah dari pengetahuan para awliya, kita dipelihara dari realitas mereka, dihiasi dari realitas mereka. Dan kita memohon untuk mengambil dari sungai mereka, dari aliran mereka, dari tangan mereka untuk mengambil dari pengetahuan mereka, inshallah ta’ala.
Di bulan suci Safar, pengajaran tentang Shamsi wal Qamar, cara mengikuti dan itibah, cara mencapai pengetahuan. Seluruh rangkaian ini dimulai dari Muharram, bahwa Allah (‘Azza wa Jal) menunjukkan kepada kita jalan yang sebenarnya. Artinya, ikuti Shams (Matahari) dan jadilah seperti Qamar (Bulan), musnahkan dirimu dan jadilah kosong, jadilah kosong dan terus menatap sinar matahari itu, shamsud duha.
﴾لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۚ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴿٤٠﴾
36:40 – “La ash Shamsu yanbaghee laha an tudrikal Qamara wa lal laylu sabiqun nahari, wa kullun fee falakin yasbahoon.” (Surat YaSeen)
“Tidaklah pantas bagi matahari mengejar bulan, juga malam tidak dapat mendahului siang: masing-masing berlayar di orbitnya (sesuai hukum).” (Al-Qur’an, YaSeen)
Artinya, semua na’at (pujian) yang kita baca, saya pikir mereka tahu realitas itu. Sungguh indah untuk diajarkan realitas itu lalu membaca na’at dan mulai memahami bahwa seluruh cara mereka adalah cara bulan. Menjadi bulan, menjadi kosong. Jangan seperti Bumi dengan semua bangunan dan strukturnya. Cara kekosongan adalah menjadi kosong dan memusnahkan diri.
Realitas Angka 18 = 8 Memegang Tahta 1 Raja
Hubungan yang Allah (‘Azza wa Jal) inginkan bagi kita didasarkan pada rahasia angka sembilan. Dari angka sembilan dalam Surah At-Tawbah ayat keempat puluh, di mana Nabi sallallahu alayhi wa sallam menjelaskan bahwa beliau masuk ke gua bersama Sayyidina Abu Bakr as-Siddiq.
﴾إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا …﴿٤٠
9:40 – “Idh akhrajahul ladheena kafaro, thaniya ithnayni idh huma fil ghari idh yaqolu lisahibihi la tahzan inna Allaha ma’ana, fa anzalAllahu sakeenatahu, ‘alayhi wa ayyadahu, bi junodin lam tarawha…” (Surat At-Tawbah)
“…ketika orang-orang yang kafir telah mengusirnya [dari Makkah] sebagai salah satu dari dua orang, ketika mereka berada di gua dan dia berkata kepada sahabatnya, ‘Jangan bersedih; sesungguhnya Allah bersama kita.’ Dan Allah menurunkan ketenangan-Nya kepadanya dan mendukungnya dengan malaikat yang tidak kamu lihat…” (Al-Qur’an, Taubat 9:40)
Dari bab sembilan ayat keempat puluh itu membuka bagi kita bahwa di bulan Safar, dalam kekuatan dan realitas sultanat (Kerajaan) angka sembilan; bahwa delapan akan memegang tahta dan ada seorang Malik.
﴾وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ ﴿١٧﴾
69:17 – “Wal Malaku ‘ala arjayeha, wa yahmilu ‘Arsha Rabbika fawqahum yawmaidhin thamaniyatun.” (Surat Al-Haqqah)
“Dan para malaikat akan berada di sisi-sisinya, dan delapan akan, pada hari itu, memikul Tahta Tuhanmu di atas mereka.” (Al-Qur’an, Kenyataan 69:17)
Malik (raja) itu tidak dapat digambarkan sebagai Allah (‘Azza wa Jal), laa Sharik, tidak ada yang dapat memegang Allah (‘Azza wa Jal). Tidak ada malaikat yang diciptakan untuk memegang Allah (‘Azza wa Jal), kalau tidak, kamu akan bilang malaikat lebih kuat dari Allah (‘Azza wa Jal). Jadi, Malik dan yang duduk di atas kursi otoritas itu adalah Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam.
Kita Dicap dengan 18 = ١٨
Delapan dan satu ١٨ adalah seluruh hidup kita. Kita dicap dengan satu dan delapan di tangan kita (telapak tangan kiri dan kanan) dan Allah menciptakan simetri sempurna dari realitas itu.
Dari pemahaman tentang angka delapan belas, kita melihat ke Ashab al-Kahf dalam Surah Al-Kahf (Bab 18 Al-Qur’an Suci) dan mulai memahami serta menghiasi diri dengan atiullah. Allah menginginkan dari kita atiullah, ati ur Rasul dan kemudian bagaimana itu diajarkan kepada kita oleh ulul amr.
﴾يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ﴾
4:59 – “Ya ayyu hal latheena amanoo atiullaha wa atiur Rasula wa ulil amre minkum…” (Surat An-Nisa)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan mereka yang memiliki otoritas di antara kalian…” (Al-Qur’an, Wanita, 4:59)
Apa yang Allah (‘Azza wa Jal) inginkan dari kita adalah menjadi seperti qamar Ku, jadilah seperti bulan dan ikuti matahari. Matamu harus selalu tertuju pada cahaya Nabi sallallahu alayhi wa sallam, cinta kepada Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam, dan itu saja yang harus memenuhi keberadaanmu. Jangan melihat ke kiri atau ke kanan.
Musa (as) Ingin Mencapai Tempat Bertemunya Dua Sungai
‘Qab Qawsini aw Adna’
Mereka mulai mengajarkan dari Nabi Musa ‘alaihis salaam. Mengapa Nabi Musa? Karena dia adalah Kaleemullah, yang berbicara kepada Allah (‘Azza wa Jal). Contohnya ditetapkan sangat tinggi, dari pengajaran Shamsi wal Qamar, Allah (AJ) mulai mengajarkan bahwa Aku akan menunjukkan kepadamu sekarang dari dia yang berbicara kepada-Ku, berbicara kepada Kehadiran Ilahi-Ku bahwa dia juga membutuhkan realitas ini. Nabi Musa (‘alaihis salaam) menginginkan dari realitas ini. Apa yang dia miliki dari realitas memiliki ‘had حد’, batas.
Apa yang dia inginkan adalah dari apa yang dia lihat ketika dia meminta untuk melihat Allah (‘Azza wa Jal), dia melihat ruhaniyaat Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam. Dan dia berkata, inilah yang saya inginkan, kekuatan ini, cahaya ini, otoritas ini. Maka saya akan menentukan hidup saya untuk bertemu di tempat bertemunya dua sungai.
﴾وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا ﴿٦٠﴾
18:60 – “Wa idh qala Musa lefatahu la abrahu hatta ablugha majma’a al bahrayni aw amdiya huquba.” (Surat Al-Kahf)
“Ingatlah, ketika Musa berkata kepada pembantunya, ‘Aku tidak akan berhenti sampai aku mencapai pertemuan dua laut atau aku akan terus berjalan selama bertahun-tahun.’” (Al-Qur’an, Gua 18:60)
Dua Sungai Bertemu pada Dua Panjang Busur atau Lebih Dekat – ‘Qab Qawsini aw Adna’
Kami katakan dua sungai bertemu antara La ilaha illAllah Muhammadan Rasulullah sallallahu alayhi wa sallam karena Allah (‘Azza wa Jal) tidak peduli pada dunia (dunya). Ini bukan Sungai Tigris dan Efrat. Apa yang mereka inginkan adalah dari Malakut, alam surgawi, dari lautan realitas ini. Artinya, di mana La ilaha illAllah Ha ه, Waw و, Meem م terhubung dan menjadi Muhammadun Rasulullah sallallahu alayhi wa sallam. Ini adalah realitas kuno Allah (‘Azza wa Jal).
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
La ilaha illAllahu Muhammadu Rasulullah
“Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah Utusan Allah.”
Artinya, rahasia antara Ha ه, Waw و, dan Meem م adalah Qaba Qawsaini aw Adna. Di mana La ilaha illAllah adalah la Sharik, tidak ada apa pun dari lautan La ilaha illAllah itu, tetapi dengan Waw dan rahasia cinta, itu membawa Muhammadun Rasulullah sallallahu alayhi wa sallam. Artinya, La ilaha illAllah (di satu sisi) dan Muhammadun Rasulullah (di sisi berlawanan); ini adalah Qaba Qawsaini aw Adna. “Aw Adna” أوْأَدْنَى adalah Waw و, bahwa ciptaan ini adalah ciptaan cinta.
﴾فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ ﴿٩
53:9 – “Fakana qaaba qawsayni aw adna.” (Surat An-Najm)
“Dan jaraknya adalah dua panjang busur atau lebih dekat.” (Bintang, 53:9)
Ha untuk Hidayat – Petunjuk yang Ada di Dalam Gua
Di mana Ha ه datang dengan hidayat هداية yang mengarahkan, dan Allah – alif lam lam ha – menunjukkan kepada kita bahwa Ha dari La ilaha illAllah. Ada Waw tersembunyi di dalam Ha; ketika kamu membuat Ha, kamu memasukkan Waw di dalamnya, dan itu adalah gua. Jadi, hidayat هداية (petunjuk) ada di dalam gua, dan di dalam gua ada Ahlul Muhabbat, orang-orang cinta, orang-orang realitas yang telah Allah (‘Azza wa Jal) hiasi dari lautan hayat (kehidupan abadi).
﴾إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا ﴿٩٦
19:96 – “Innal ladheena amano wa ‘amilus salihati sayaj’alu lahumur Rahmanu wudda.” (Surat Maryam)
“Sesungguhnya, mereka yang beriman dan beramal saleh, Maha Pengasih akan menanamkan cinta bagi mereka.” (Al-Qur’an, Maryam 19:96)
Jiwa Hidup Kembali di Hadapan Ibadur Rahman
Nabi Musa menginginkan realitas itu. Kami katakan tadi malam bahwa dia sedang mencari realitas itu, dan tanda di mana dia sampai adalah ikan mati yang harus dia makan untuk makan siang, yang kemudian hidup kembali dan melompat ke air. Pasti ada rahasia hayat (kehidupan abadi), dan ini adalah Ibadur Rahman (Hamba-hamba Yang Maha Pengasih) yang Allah (‘Azza wa Jal) sebutkan, “‘Allamal Qur’an. Khalaqal insaan.” (Al-Qur’an 55:2-3)
﴾عَلَّمَ الْقُرْآنَ ﴿٢﴾ خَلَقَ الْإِنْسَانَ ﴿٣
55:2-3 – “‘Allamal Qur’an. Khalaqal Insaan.” (Surat Ar-Rahman)
“Dialah yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah menciptakan manusia.” (Yang Maha Pengasih, 55:2-3)
Mereka membawa cahaya dan realitas serta rahasia Al-Qur’an Suci. Mereka telah diberikan cahaya dari Allah (‘Azza wa Jal) yang tidak bisa dicapai melalui ibadah. Itu adalah pemberian dari Allah (‘Azza wa Jal). Allah (‘Azza wa Jal) kemudian menjelaskan bahwa benda-benda hidup di hadapan mereka, ikan adalah simbol jiwa, dan semua jiwa hidup kembali dalam realitas dan kehadiran mereka. Dan itu ajaban, pendamping Nabi Musa (‘alaihis salaam) melihat ikan mati hidup kembali dan melompat ke air.
﴾قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا ﴿٦٣
18:63 – “Qala araayta idh awayna ilas sakhrati fa-innee naseetu alhoota wa ma ansaneehu illash shaytanu an adhkurahu, wat takhadha sabeela hu fee al bahri ‘ajaba.” (Surat Al-Kahf)
“Dia berkata, ‘Apakah kamu melihat ketika kita beristirahat di batu itu? Sesungguhnya aku lupa [tentang] ikan itu. Dan tidak ada yang membuatku lupa kecuali setan – sehingga aku tidak menyebutkannya. Dan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang menakjubkan.’” (Gua, 18:63)
Artinya, ini adalah realitas jiwa bahwa jika jiwa mengering dan putus asa serta menyerah pada peluang rahmat atau berenang di lautan marifah.
Ibadur Rahman adalah Hamba-hamba Allah yang Mencapai Rahmat dan Ilmu Surgawi
Allah (‘Azza wa Jal) berfirman, “Tidak, tidak, apa yang telah Kami hiasi pada hamba-hamba Kami,” dan itu hanya salah satu dari hamba-hamba itu, tajalli dan cahaya serta pakaian itu ada pada mereka, dan Nabi Musa menginginkan pengetahuan itu.
﴾فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا ﴿٦٥
18:65 – “Fawajada ‘abdan min ‘ibadina ataynahu rahmatan min ‘indina wa ‘allamnahu min ladunna ‘ilma.” (Surat Al-Kahf)
“Maka mereka menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami…” (Al-Qur’an, Gua 18:65)
Apa yang diinginkan Nabi Musa adalah pengetahuan dan realitas ini. Ini adalah isharat (tanda) bahwa di mana pun ada pengetahuan, pengetahuan Ilahi, ilm Laduni wa hikmati bis Saliheen (Pengetahuan Ilahi dan Kebijaksanaan Orang-orang Saleh). Bukan orang-orang yang menghafal buku, bukan orang-orang yang menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain. Mereka mengambil bahasa Arab dan memberikan Hadis Suci dan memberitahukannya kepada kamu dalam bahasa Urdu dan Inggris, dan orang-orang terpesona. Mereka terpesona karena ini adalah Hadis Suci Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam. Apa yang para pemandu bicarakan adalah realitas Hadis Suci ini dan realitas Al-Qur’an Suci. Hamba-hamba Allah ini mencapai rahmat, kemudian Allah mengajarkan mereka di hati mereka melalui Murshid (pemandu spiritual) mereka.
Adab Mencari Ilmu Ilahi Menurut Al-Qur’an Suci
Allah (‘Azza wa Jal) kemudian mulai menjelaskan, “Jika kamu mencari pengetahuan seperti Nabi Musa (‘alaihis salaam), ada seluruh cara untuk mencapai realitas itu, itu tidak mudah dicapai. Artinya, jika kamu mencari pengetahuan ini dan ingin duduk bersama mereka yang telah dihiasi dengan pengetahuan surgawi, ada seluruh adab (etiket) dalam menemani mereka.
1. Itiba` (Mengikuti) – Akui bahwa Kamu Ingin Menjadi Pengikutnya
Hal pertama yang diajarkan Nabi Musa (‘alaihis salaam) kepada kita adalah, “Begitu saya pergi, saya mengakui kepada guru itu bahwa saya ingin menjadi dari tabi’een (pengikut) Anda.”
﴾قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا ﴿٦٦
18:66 – “Qala lahu Musa hal attabi’uka ‘ala an tu’allimani mimma ‘ullimta rushda.” (Surat Al-Kahf)
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu dengan syarat engkau mengajarkanku dari apa yang telah diajarkan kepadamu tentang petunjuk?’” (Al-Qur’an, Gua, 18:66)
“Saya ingin mengikutimu, artinya segera saya akan melepaskan pangkat saya, apa pun yang membedakan saya dari hierarki apa pun.” Bahwa di hadapan guru itu, tidak ada izin untuk menunjukkan hierarki apa pun. Ini adalah Nabi Musa ‘alaihis salaam, ini bukan sesuatu yang dibuat-buat orang, tetapi ini yang diinginkan Allah (‘Azza wa Jal).
Di Atas Setiap Pengetahuan Ada yang Lebih Berpengetahuan
Di atas setiap yang berpengetahuan ada yang lebih berpengetahuan dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Bahkan Nabi Musa meminta Realitas Muhammadan. Allah (‘Azza wa Jal) berfirman, pengetahuan ini dan keagungannya memerlukan karakter tertentu. Dari dia yang berbicara dengan Kehadiran Ilahi-Ku, betapa sulitnya bahwa dia segera merendahkan dirinya dan berkata, “Jika Engkau mengizinkan saya untuk mengikutimu, itiba`.” Itu menyiratkan bahwa dia tidak bisa menggunakan kenabiannya dan dia tidak bisa menggunakan apa pun yang telah Allah (‘Azza wa Jal) berikan kepadanya dalam menemani orang itu. (Artinya, saya tidak bisa menggunakan apa pun yang telah Allah (‘Azza wa Jal) berikan kepada saya dalam menemanimu.)
Artinya, kamu tidak bisa menceritakan mimpimu kepada Syekh untuk memengaruhi Syekh, kamu tidak bisa menceritakan kisah-kisah, kamu tidak bisa berdiskusi, kamu tidak bisa memberikan suhbat, kamu tidak bisa melakukan apa pun yang akan menggunakan sinyalmu dengan sinyal pemandu itu. Ada banyak realitas berbeda dalam hal itu. Ada banyak cara berbeda di mana ego orang-orang mencoba mengendalikan pemandu dan guru. Mereka menceritakan kisah dan peristiwa kepada mereka dan mulai menggunakan koneksi mereka di hadapan orang itu. Itu tidak diizinkan. Itu akan menghalangi segalanya dan membuat segalanya sulit.
Standar yang ditetapkan Allah (‘Azza wa Jal) adalah bahwa “Kaleemullah-Ku/Nabi Musa datang dan berkata, ‘Izinkan saya menjadi muridmu. InsyaAllah, Anda menemukan saya bersabar dengan Anda dan diajarkan dari apa yang Anda ketahui tentang pengetahuan, adab, dan karakter.’”
﴾قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا ﴿٦٦
18:66 – “Qala lahu Musa hal attabi’uka ‘ala an tu’allimani mimma ‘ullimta rushda.” (Surat Al-Kahf)
“Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu dengan syarat engkau mengajarkanku dari apa yang telah diajarkan kepadamu tentang petunjuk?’” (Al-Qur’an, Gua, 18:66)
2. Bersabar – Menemani Para Pemandu Ini Membutuhkan Kesabaran
Kemudian Sayyidina Khidr (‘alaihis salaam) menjelaskan kepada kita bahwa kamu tidak akan mampu bersabar.
﴾قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا ﴿٦٧
18:67 – “Qala innaka lan tastatee’a ma’iya sabra.” (Surat Al-Kahf)
“(Yang lain) berkata, ‘Sesungguhnya kamu tidak akan mampu bersabar bersamaku!’” (Gua, 18:67)
Artinya, karakter terbesar dari jalan ini, bukan yang terkecil, adalah sabr (kesabaran). Karena dia tahu ini adalah nabi besar Allah. Allah (‘Azza wa Jal) memberikan contoh kepada kita karena ini adalah tingkat tertinggi untuk menetapkan standar karakter. Ada rahasia lain mengapa Nabi Musa (‘alaihis salaam) merendahkan dirinya. Mungkin dia sedang menguji Sayyidina Khidr ‘alaihis salaam? Itu untuk malam lain, tetapi malam ini mereka menetapkan standar begitu tinggi untuk menjadi kosong dan mendekati lautan kekosongan itu sehingga saya ingin diberikan dari pengetahuan yang Anda miliki, dan mereka mulai mengajarkan bahwa itu membutuhkan sabr yang luar biasa, wa tawa saw bil haqqi wa tawa saw bi-sabr. Jalan ini didasarkan pada Haqq, bata-batanya adalah sabr, dan sabr adalah kesabaran.
﴾وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣
103:1-3 – “Wal ‘Asr. Innal insaana lafee khusr. IllaL ladheena aamano wa ‘amilos saalihaati, wa tawaasaw bil haqqi wa tawaasaw bis sabr.” (Surat Al-‘Asr)
“Demi waktu! Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (Waktu Sore, 103:1-3)
Kamu Tidak Bisa Bersabar dengan Apa yang Tidak Kamu Ketahui
Ayat berikutnya, Sayyidina Khidr memberitahu Sayyidina Musa, yang adalah Kaleemullah.
﴾وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا ﴿٦٨
18:68 – “Wa kayfa tasbiru ‘ala ma lam tuhit bihi khubra.” (Surat Al-Kahf)
“Dan bagaimana kamu bisa bersabar terhadap sesuatu yang pemahamanmu belum lengkap tentangnya?” (Gua, 18:68)
Bagi siapa pun yang mengikuti dan mencoba mengambil jalan realitas dan terus-menerus mencoba mendengar sesuatu dan membuat komentar; mereka pikir mereka melihat sesuatu dan membuat komentar. Mereka pikir mereka bermimpi dan membuat komentar. Banyak variabel berbeda, setiap orang berada pada tingkat yang berbeda. Jalan ini membutuhkan segalanya untuk dimatikan dalam mengejar pengetahuan itu. Ini mengajarkan bahwa bagaimana kamu bisa bersabar dengan sesuatu yang pengetahuanmu tidak lengkap tentangnya. Artinya, saya akan mengajarkanmu dari pengetahuan yang kamu tidak miliki. Jika kamu tidak memilikinya, kamu akan tidak sabar dalam mencoba mengejarnya. Jadi, kembali ditegaskan bahwa diperlukan kesabaran yang luar biasa.
3. Jangan Bertanya Apa Pun – Tidak Ada Pertanyaan tentang Apa Pun Sampai Saya Sendiri Berbicara Kepadamu tentang Itu
﴾قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ﴿٧٠
18:70 – “Qala fa ini ittaba’tanee fala tasalnee ‘an shay-in hatta ohditha laka minhu dhikra.” (Surat Al-Kahf)
“[Khidr] berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, jangan bertanya tentang apa pun sampai aku sendiri yang menyebutkannya kepadamu.’” (Gua, 18:70)
Apa yang kamu pelajari di perguruan tinggi dan sekolah saat ini adalah adab yang terburuk. Apa yang kamu pelajari di sekolah adalah terus-menerus bertanya kepada profesor, menantang profesor, memeriksa profesor, yang merupakan tark ul adab (meninggalkan tata cara) dan adab yang terburuk.
Iman (Keimanan) Buta seperti Cinta
Karena iman itu buta. Ini seperti cinta. Mereka mengejek ini, “Oh, iman buta, iman buta!” Ya, ini adalah pernyataan yang kontradiktif. Iman harus buta karena kamu tidak melihat iman. Iman adalah tindakan berdasarkan cinta, mereka juga tidak melihat cinta. Iman harus dan diperlukan untuk menjadi buta. Artinya, kamu percaya di dalam hatimu bahwa tindakan itu benar, pemahaman itu benar, dan ketika kamu bertindak berdasarkan iman, Allah (‘Azza wa Jal) memberikan darajat iman (tingkatan iman) kepadamu. Jika kamu harus membuktikannya, itu bukan lagi iman-mu, ini sekarang aql (penalaran) mu. (Iman) melibatkan sesuatu di dalam hatimu yang lebih unggul, dan kemudian mulailah perjalanan itu.
4. Jangan Melawan Syekhmu – Tingkah Laku Murid dengan Pemandu adalah Bersabar dan Taat
Musa (‘alaihis salaam) berkata, InsyaAllah kamu akan menemukan saya bersabar bersamamu, saya akan menemanimu. Semua orang tahu cerita bahwa mereka menemui tiga ujian, dan setiap ujian Nabi Musa (‘alaihis salaam) memiliki sesuatu untuk dikatakan.
﴾قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا ﴿٦٩
18:69 – “Qala satajidunee in shaa Allahu sabiran wa la a’see laka amra.” (Surat Al-Kahf)
“[Musa] berkata, ‘Kamu akan menemukan saya, jika Allah menghendaki, (benar-benar) sabar, dan saya tidak akan melanggar perintahmu dalam hal apa pun.’” (Gua, 18:69)
Tiga Ujian Abadi dalam Mengejar Ilmu Surgawi
1. Khidr (‘as) Menenggelamkan Perahu – Mencari Rezeki (Rizq)
Mereka menemui perahu yang dimiliki nelayan, dan kami tidak akan membahasnya secara mendalam. Tetapi yang penting adalah mereka menemui perahu, dan perahu itu melambangkan rizq dan rezeki. Artinya, cara di mana kamu akan mencapai rizq atau rezekimu, akan ada masalah dengannya. Sayyidina Khidr (‘alaihis salaam) terlibat dengan rezeki itu untuk menurunkan perahu dan bukan menghancurkannya, dan Nabi Musa (‘as) memiliki masalah dengan itu. “Mengapa kamu melakukan itu?”
Artinya, ada pentingnya dalam bimbingan itu yang akan berhubungan dengan rizq dan rezeki kita. Artinya, bagaimana kamu berinteraksi dengan guru dan pemandu itu serta pengetahuan yang mereka sampaikan, mereka akan terlibat langsung dalam rezekimu. Mereka memberikan saran tentang cara mencapai rezekimu, cara mengurangi pentingnya rezeki itu, cara mengeluarkannya dari pandanganmu karena itu akan menghalangimu. Kemudian ayat itu menjadi jelas mengapa hal itu terjadi.
Ketakutan akan Kemiskinan Menghalangi Kita dari Mengejar Realitas
Ketika Nabi Musa bertanya, “Mengapa kamu merusak perahu itu?” karena perahu yang digunakan untuk mencari nafkah itu, setan mengejarnya. Artinya, pendapatan dan uangmu berada di bawah pengaruh setan, itu tidak akan pernah bergerak menuju Rahmaan, karena setan akan terus datang kepadamu dan berbisik, “Ini akan habis, ini akan habis,” dan kamu mulai menyimpannya, menyimpannya, menyimpannya. Artinya, rizq akan menjadi hubungan langsung. Itulah sebabnya Allah berfirman bahwa dalam mengejar pengetahuan ini, tiga ujian ini adalah ujian abadi. Ini bukan hanya untuk Nabi Musa ‘alaihis salaam. Mengejar uang akan menghalangi kita dari mengejar realitas, dan ketakutan akan kemiskinan juga akan menghalangi kita. Jadi, mereka sudah mengalami kesulitan pada ujian itu. “Mengapa kamu harus merusak perahu itu?” Dia menjelaskan kemudian mengapa mereka harus merusak perahu itu. Sekali lagi dia berkata, “Saya akan sabar, saya akan sabar, mohon bersabar dengan saya.”
﴾أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا ﴿٧٩
18:79 – “Amma assafeenatu fakanat limasakeena ya’maloona fee albahri faarattu an a’eebahawa kana wara-ahum malikun ya’khudhu kulla safeenatin ghasba.” (Surat Al-Kahf)
“Adapun perahu itu, itu milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Maka saya bermaksud untuk membuat cacat di dalamnya karena ada di belakang mereka seorang raja yang merebut setiap perahu [yang bagus] dengan paksa.” (Gua, 18:79)
2. Khidr (‘as) Mengorbankan Anak Laki-laki
Ujian berikutnya, orang-orang berpengetahuan akan terlibat dalam hidupmu. Dan kami melihatnya dalam hidup kami sendiri dan kami melihatnya setiap hari dengan segala yang terjadi. Mereka menemui seorang anak laki-laki, dan anak itu diperintahkan oleh Allah untuk disembelih. Dan Sayyidina Khidr menyembelih anak itu, dan Nabi Musa (‘alaihis salaam) berkata, “Itu saja, mengapa kamu melakukan ketidakadilan yang ekstrem terhadap ghulam yang begitu suci?”
﴾فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُّكْرًا ﴿٧٤
18:74 – “Fantalaqa hatta idha laqiya ghulaman faqatalahu qala aqatalta nafsan zakiyatan bighayri nafsin laqad jita shay-an nukra.” (Surat Al-Kahf)
“Maka mereka berangkat, hingga ketika mereka bertemu dengan seorang anak laki-laki, al-Khidhr membunuhnya. [Musa] berkata, ‘Apakah kamu telah membunuh jiwa yang suci tanpa [membunuh] jiwa lain? Sungguh, kamu telah melakukan sesuatu yang tercela.’” (Al-Qur’an, Gua)
Artinya, ini adalah waktu besar untuk tafakkur bahwa, dalam cara ini, segala sesuatu tentang kita harus dihancurkan, tidak boleh ada dua di hadapan itu. Apa yang mereka inginkan adalah segalanya dibawa turun sehingga cahaya Kehadiran Ilahi Allah (‘Azza wa Jal), cahaya Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam bersinar di dalam kita. Jadi, yang menghalangi adalah ‘kita’. Yang menghalangi adalah “Aku-ness” saya, “Saya-ness” saya, sepanjang ‘Saya ada di sana’, saya jauh dari realitas itu.
Relevansi Tiga Ujian Musa (‘as) dalam Perjalanan Spiritual Kita
1. Jangan Mengejar Dunia, Bangun Imanmu
Pertama, kita mengejar rizq, rezeki yang menjadi fokus utama dalam hidup. Kami bilang seperti terus berlari di pasar mencari di mana uang itu berada. Kami adalah orang-orang laba-laba, ankaboot. Kamu membangun jaringmu, lakukan zikirmu, lakukan hal-hal yang Allah (‘Azza wa Jal) anggap indah, dan Allah mengirimkan rezeki. Ada banyak yang hidup seperti itu sebagai daleel, sebagai bukti. Mereka melakukan apa yang Allah (‘Azza wa Jal) inginkan, dan Allah (‘Azza wa Jal) mengirimkan kepada mereka dan bisa mengirim dari cara-cara yang tidak pernah kamu bayangkan.
2. Singkirkan Karakter Buruk/Egomu
Kemudian anak laki-laki itu, dan itu adalah nafs al-ammarah, karakter yang sangat buruk yang terus-menerus dalam kondisi nakal. Ketika Nabi Musa (‘alaihis salaam) mengeluh, dia mengungkapkannya dalam bahasa Arab bahwa, “Ini adalah ghulam yang sangat suci, mengapa kamu melakukan itu?” Artinya, ini adalah isharat (tanda) bagi kita, setiap orang menganggap dirinya hebat, bahwa saya sangat suci, saya sangat luar biasa, mengapa saya diserang? Mengapa saya mengalami ujian dalam hidup saya? Mengapa saya terus-menerus berada dalam kesulitan, saya adalah orang yang sangat luar biasa.
Sayyidina Khidr memberitahu Nabi Musa (‘as) tentang anak nakal itu.
﴾وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا ﴿٨٠﴾ فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا ﴿٨١
18:80-81 – “Wa amma alghulamu fakana abawahu muminayni fakhasheena an yurhiqahuma tughyanan wa kufra. Faaradna an yubdil lahuma rabbuhuma khayran minhu zakatan wa aqraba ruhma.” (Surat Al-Kahf)
“Adapun anak laki-laki itu, kedua orang tuanya adalah orang beriman, dan kami khawatir dia akan membebani mereka dengan pemberontakan dan kekafiran. (80) Maka kami bermaksud agar Tuhan mereka menggantikannya dengan yang lebih baik darinya dalam kesucian dan lebih dekat pada rahmat.” (Gua, 18:80-81)
Dialog yang diajarkan Sayyidina Khidr (‘alaihis salaam) tentang anak itu, “Tidak, tidak, yang nakal itu akan menghalangi. Jika kamu membiarkannya mati, Allah (‘Azza wa Jal) akan menggantikannya dengan Rahma, sesuatu yang akan berbelas kasih kepadamu.” Artinya, realitas baru yang lahir dalam diri seseorang adalah realitas suci yang membimbing kita dan membantu kita mencapai realitas kita. Artinya, sekarang rezeki akan mengikutinya. Kemurnian karakter dalam dan bahwa kita berpikir itu adalah ghulam yang suci, dan mereka mengajarkan dari Allah (‘Azza wa Jal) bahwa, “Tidak, tidak, turunkan itu dan buat zabiha. Karakter itu harus dimurnikan.”
3. Hiduplah dalam Pelayanan dan Khidmat
Kemudian ujian terakhir adalah membangun tembok. Membangun tembok adalah hidup dalam pelayanan, khidmat, dan membuka realitas khidmat. Itulah mengapa kamu harus membangun tembok dan tidak meminta bayaran? Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan harus mendapatkan uang, kamu harus hidup untuk uang. Tetapi ketika kamu melihat para mukhlis ini, mereka tidak hidup untuk uang, mereka hidup untuk pelayanan. Mereka melayani Allah (‘Azza wa Jal) dan uang mengalir dari segala arah yang mungkin, itu bukan masalah.
﴾اتَّبِعُوا مَن لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٢١
36:21 – “Ittabi‘oo man la yas’alukum ajran wa hum muhtadoon.” (Surat YaSeen)
“Ikutilah mereka yang tidak meminta imbalan darimu (untuk diri mereka sendiri), dan mereka telah menerima petunjuk.” (Al-Qur’an, YaSeen)
Masalah yang dikeluhkan Nabi Musa kepada Sayyidina Khidr ‘alaihis salaam adalah: mengapa kita tidak meminta bayaran? Dia berkata, “Di situlah kita sekarang memiliki masalah.”
﴾فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا ﴿٧٧
18:77 – “Fantalaqa hatta idha ataya ahla qaryatin istat‘ama ahlaha faabaw an yudayyifoohuma fawajada feeha jidaran yureedu an yanqadda faaqamahu, qala law shi’ta lattakhadhta ‘alayhi ajra.” (Surat Al-Kahf)
“Maka mereka berangkat, hingga ketika mereka sampai kepada penduduk suatu kota, mereka meminta makanan kepada penduduknya, tetapi mereka menolak untuk menjamu mereka. Dan mereka menemukan di sana sebuah tembok yang hampir roboh, lalu al-Khidhr memperbaikinya. [Musa] berkata, ‘Jika kamu mau, kamu bisa mengambil bayaran untuk itu.’” (Al-Qur’an, Gua, 18:77)
Artinya, realitas ini adalah melakukan sesuatu untuk Allah (‘Azza wa Jal) dan tidak meminta apa pun sebagai imbalannya. Hiduplah dalam khidmat, artinya melayani Allah (‘Azza wa Jal), melayani Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam, lakukan apa yang harus kamu lakukan, dan Allah (‘Azza wa Jal) akan memeliharamu. Allah (‘Azza wa Jal) akan menjagamu. Dan pada titik itu, Sayyidina Khidr (‘alaihis salaam) adalah yang pertama berkata, “Cukup sudah. Saya akan membebaskanmu dari tanggung jawab ini agar Allah (‘Azza wa Jal) tidak marah kepadamu.”
﴾قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا ﴿٧٨
18:78 – “Qala hadha firaqu baynee wa baynika, saonabbioka bitaweeli ma lam tastati‘ ‘alayhi sabra.” (Surat Al-Kahf)
“[Al-Khidhr] berkata, ‘Ini adalah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan memberitahumu tentang tafsir dari apa yang kamu tidak bisa sabar terhadapnya.’” (Gua, 18:78)
Kita Harus Melewati Tiga Ujian Ini untuk Mendapatkan Amanat/Kepercayaan Kita
Khidr (‘alaihis salaam) berkata, “Di sinilah kita tidak bisa melangkah lebih jauh.” Mereka membuka realitas bagi kita mengapa adab seperti itu. Artinya, ketika kita ingin mencapai apa yang Allah (‘Azza wa Jal) ingin berikan kepada kita dari amanat kita, itu adalah kepercayaan yang telah disisihkan untuk diri kita sendiri. Dan dengan tiga ujian ini adalah jalan menuju amanat kita sendiri, dan jika hubungan itu dibangun di atas keraguan dan pertanyaan terus-menerus, itu bukan lagi iman. Mereka bisa memberikan semua jawaban, setiap kali kamu mempertanyakan dan ragu, mereka memberi jawaban, kamu tidak mendapatkan apa pun dari iman. Kamu hanya mendapatkan kepuasan dalam pikiranmu. Allah (‘Azza wa Jal) masih akan menguji lagi.
Iman Membutuhkan Kesabaran – Ketahuilah bahwa Tangan Allah Ada dalam Segala Sesuatu
Artinya, jalan iman bukanlah sesuatu yang dibutuhkan melalui kepala, tetapi melalui sabr (kesabaran). Itulah sebabnya dijelaskan di awal hubungan itu. “Apakah kamu yakin ingin realitas ini? Ini adalah realitas surga, bukan pengetahuan dunia (dunya).” Jalan menuju surga membutuhkan sabr, tingkat keimanan yang ekstrem di mana apa pun yang dilakukan kepadamu, bersabarlah karena Allah tahu yang terbaik. Tangan Allah adalah tauhid yang sempurna.
- Tangan Allah (‘Azza wa Jal) ada dalam segala sesuatu. Jika Dia menurunkan rezekimu, jangan terganggu olehnya. Sejauh kamu terganggu olehnya, sejauh itu pula keterikatanmu padanya. Begitu itu kehilangan keterikatan dari hatimu, semua kekayaan dunia bisa diletakkan di depanmu, dan setan tidak akan memiliki bagian di dalamnya karena kamu melakukan segalanya demi Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam dengannya.
- Yang kedua, jika kamu tidak membiarkan karakter itu di-zabiha (dikorbankan) dan dibersihkan, maka kamu akan selalu memiliki karakter buruk itu, karakter nakal yang selalu memberontak terhadap Allah (‘Azza wa Jal), memberontak terhadap Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam, dan memberontak terhadap ulul amr.
- Jika dua karakteristik itu terpenuhi, yang ketiga menjadi sempurna, mereka hidup dalam pelayanan. Mereka mungkin bekerja, tetapi mereka dengan penuh semangat menanti untuk melayani Allah (‘Azza wa Jal), untuk melayani Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam, dan mereka hidup dalam khidmat. Sedemikian rupa sehingga bagi orang-orang dalam khidmat, orang-orang di luar terus datang kepada mereka bertanya, “Mengapa kamu melakukan itu? Mengapa kamu selalu pergi ke sana? Mengapa kamu selalu melayani di sana? Mengapa kamu melakukan seperti ini? Siapa yang membayarmu? Mengapa mereka tidak melakukan seperti ini?” karena orang-orang dunia (dunya) tidak memahami khidmat. Mereka hanya memahami bahwa kamu melakukan sesuatu dan mendapatkan $20, kamu melakukan ini kamu mendapatkan $20, kamu melakukan itu kamu mendapatkan $20, tetapi untuk dibayar oleh Allah (‘Azza wa Jal), itu membutuhkan tingkat keimanan yang tinggi, tingkat tasleem, dan penyerahan.
Artinya, itulah yang disampaikan dan pemahaman dari penyampaian itu bahwa ketika Khidr (‘as) berkata, “Cukup untuk kita,” itu adalah jalan kesabaran, jalan itiba` dan mengikuti bimbingan serta cara menghilangkan karakter buruk keraguan. Sejauh ada keraguan dan sejauh ada pertanyaan, tidak ada lagi hubungan dari realitas ini, dan itulah saat murid dan pemandu berpisah. Karena waktu lebih lanjut dalam hal itu sebenarnya akan ditulis melawan murid, karena itu bukan lagi keimanan. Itu adalah pertanyaan terus-menerus, pertanyaan terus-menerus; itu bukan lagi iman. Jika tidak ada iman yang terlibat di dalamnya, maka itu menjadi merugikan bagi pertumbuhan murid itu, dan itulah sebabnya pada saat itu mereka berpisah. Kamu bebas pergi ke arahmu, dan kami kembali ke arah kami.
Kami berdoa agar Allah (‘Azza wa Jal) membuka pemahaman ini bagi kami dari bulan suci Safar, membuka bulan suci Rabi’ul Awwal, dan matahari penuh bersinar dari Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam, bahwa Allah (‘Azza wa Jal) memberikan kita lebih banyak pemahaman, lebih banyak adab, lebih banyak cinta untuk Sayyidina Muhammad sallallahu alayhi wa sallam dan cinta untuk awliyaullah, dan semua cinta itu dihiasi dengan kesabaran dan sabr, InsyaAllah.
Tiga Ujian Mencerminkan Kehidupan Nabi Musa (‘as)
Tiga ujian ini, dengan kepercayaan untuk realitas yang diinginkan Nabi Musa (‘alaihis salaam), berarti bahwa ketika kamu melihat keajaiban jalan ini, apa yang mereka uji adalah untuk amanat-mu. Ini bukan ujian dari Syekh. Itulah yang Sayyidina Khidr coba sampaikan kepada Nabi Musa (‘alaihis salaam), bahwa, “Ujian yang Allah kirimkan kepadamu ini begitu ajaib, ini adalah cerminan dari hidupmu, bukan hidupku, karena:
- Kamu dilemparkan ke air dalam keranjang, jadi jika kamu memiliki masalah dengan melempar kapal dan menenggelamkan kapal, ibumu melemparkanmu ke dalam keranjang.” “Kamu lihat kapal ini, ini berkaitan dengan bagaimana ibumu melemparkanmu ke air. Apa hikmah dan kebijaksanaan dari itu? Bahwa kamu akan diselamatkan oleh keranjang itu karena Allah (‘Azza wa Jal) Maha Besar, kamu tidak perlu takut kepada siapa pun. Allah (‘Azza wa Jal) membesarkanmu di tangan musuhmu, yang menginginkanmu dan membunuh ribuan anak untuk mencarimu. Keagungan Allah adalah bahwa Aku akan membuatmu memberi makan dia, membersihkannya, mencucinya, dan membesarkannya, karena Allah (‘Azza wa Jal) Maha Besar.
- Kamu memiliki masalah dengan anak laki-laki ini, tetapi bukankah kamu yang memukul penjaga dengan tanganmu untuk menyelamatkan salah satu dari komunitasmu? Allah (‘Azza wa Jal) ingin menunjukkan marifah-mu sendiri dalam jalan marifah karena ini adalah amanat-mu yang kamu inginkan, ini adalah kepercayaanmu, karakteristikmu yang Allah (‘Azza wa Jal) ingin tunjukkan kepadamu.” Ini bukan tentang karakteristik Syekh, dia hanya pemandu yang membawamu, bersabarlah, bersabarlah.
- Tembok yang begitu membuatmu kesal, kamu memberikan sumur Mad’een, kamu memberikan air kepada para wanita yang salah satunya kamu inginkan sebagai istri.”
Artinya, setiap ujian yang Allah (‘Azza wa Jal) kirimkan adalah cerminan dari hidupmu sendiri. Dan jika kita bersabar untuk memahami, bersabar untuk mengambil jalan ini, kita akan menemukan bahwa amanat yang mereka sisihkan untuk kita adalah amanat yang menjadi warisan kita. Artinya, kamu mewarisi pena realitas, dan kemudian kamu akan diuji sepanjang jalan untuk mencapai realitas itu, untuk dihiasi oleh realitas itu. Dan kami berdoa agar Allah (‘Azza wa Jal) memberikan kepada kita dari realitas ini dan apa yang dijanjikan kepada kita pada Hari Janji, insyaAllah.
Subhaana rabbika rabbil izzati ‘amma yasifoon wa salaamun ‘alal mursaleen wa ‘l-hamdu lillahi rabbil ‘aalameen. Bi hurmati Habib wa bi sirri surat al-Fatiha.
Leave a Reply