‘Allamal Qur’an kepada Nabi (s), Kemudian Menciptakan Manusia

Dari realitas Mawlana Syekh Hisham Kabbani, sebagaimana diajarkan oleh Syekh Sayed Nurjan Mirahmadi

Audhu billahi minash Shaytanir rajeem
Bismillahir Rahmanir Raheem

Alhamdulillah, di bulan suci Rajab, “subhana man huwa khaliq an noor”.

سُبْحَانَ مَنْ هُوَ الْخَالِقَ النُّورْ
Subhana man huwal Khaliq an Nur
(Maha Suci Dia yang Menciptakan Cahaya).

Dari rahasia kelahiran cahaya, di bulan ketujuh penanggalan hijriah, cahaya dari Kehadiran Ilahi adalah kelahiran Realitas Muhammadan. Alhamdulillah, ini membuka ke bulan suci Sya’ban, di mana cahaya Nabi Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam) mulai menerangi seluruh ciptaan.

Dalam jalan marifah, para guru realitas mengingatkan kita bahwa segalanya berasal dari Cahaya Muhammadan. Pemahaman ini harus kokoh di hati, yaitu pemahaman tentang tauhid sejati, laa shareeka lah, bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah (Azza wa Jal). Tidak ada yang berada di dekat Allah (Azza wa Jal). Keagungan Allah memiliki sifat “tidak berada di mana pun” sekaligus “hadir di mana-mana”. Azmatullah (keagungan Allah) adalah bahwa Allah (Azza wa Jal) tidak terlihat di mana pun, namun hadir di segala tempat. Dan manifestasi serta Qudrah (kekuatan) Allah (Azza wa Jal) adalah kekuatan Realitas Muhammadan.

Ketahui Asal-usulmu

Untuk kembali ke asal-usul kita, ke realitas kita, kita perlu menjahit pemahaman hati tentang apa yang diketahui untuk mencapai pemahaman para ‘arifeen (orang-orang yang mengenal Allah). Jika kita tidak tahu dari mana kita berasal, kita tidak akan tahu ke mana kita kembali. Kita berasal dari samudra Muhammadun Rasulullah (sallallahu alayhi wa sallam). Dari realitas itu, kita datang untuk pengalaman fisik, dan anugerah tertinggi adalah menerima Realitas Muhammadan, Maqam al-Mahmud, dengan mengucapkan “Muhammadun Rasulullah” (sallallahu alayhi wa sallam). Mengucapkan “Laa ilaaha ilAllah” saja belum lengkap. Yang Allah (Azza wa Jal) inginkan adalah kita melengkapinya dengan “Muhammadun Rasulullah” untuk mencapai Maqam al-Mahmud.

Kemudian, dengan merenungkan dalam hati apa yang diajarkan Mawlana Syekh tentang malaikat yang bersujud dan contoh konsisten Allah (Azza wa Jal) dalam Al-Qur’an tentang tashreef (penghormatan) dan akhlak mulia. Bismillahir Rahmanir Raheem, ‘Allamal Qur’an. Khalaqal Insan.

الرَّحْمَنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ خَلَقَ الْإِنسَانَ
55:1-3 – “‘Allamal Qur’an. Khalaqal Insan.” (Surat Ar-Rahman)
“Yang Maha Pengasih, Dia yang mengajarkan Al-Qur’an, kemudian menciptakan manusia.” (Yang Maha Pengasih, 55:1-3)

Dari Surat Ar-Rahman, seluruh dunia ini berada di bawah Sifat ar-Rahman. Artinya, dari cahaya dan keagungan itu, keberadaan ini muncul. Allah (Azza wa Jal) menegaskan dalam Al-Qur’an: ‘Allamal Qur’an, khalaqal insaan.

Nur Muhammad adalah Ciptaan Pertama Allah (AJ)

Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) menjelaskan ketika para sahabat bertanya, “Ya Sayyidi, ya Rasulullah, apa ciptaan pertama?” Dalam Hadits al-Jabbir:

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ نُوْرِ نَبِيِّكَ يَا جَابِرْ
“Awwalu ma khalaqAllahu nuri Nabyika, Ya Jabir.”
“Yang pertama Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu, wahai Jabir.” (Nabi Muhammad sallallahu alayhi wa sallam)

Cahaya Nabi adalah ciptaan pertama, dan Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) menjelaskan bahwa dia adalah cahaya seluruh langit. Sebelum ada cahaya apa pun, sebelum segala sesuatu ada, Nur Muhammadi telah ada. Nabi berkata, “Aku adalah Rasul, aku adalah Nabi sebelum penciptaan Adam.” Ketika Adam masih antara tanah liat dan air, kedudukan kenabian Rasulullah (sallallahu alayhi wa sallam) telah abadi dalam keberadaan itu.

كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الْمَاءِ وَالطِّينِ
“Kuntu Nabiyan wa Adama baynal Maa e wat Teen.”
“Aku adalah Nabi ketika Adam masih antara air dan tanah liat.” (Nabi Muhammad sallallahu alayhi wa sallam)

Dengan tafakkur (perenungan), kita memahami karena Allah (Azza wa Jal) menjelaskan bahwa realitas hanya dipahami oleh orang-orang yang merenung. Mengapa? Karena mereka tidak membaca untuk sekadar menyelesaikan seperti lomba, tetapi satu ayat cukup untuk direnungkan selama sebulan. Bukan soal membaca cepat atau menirukan seperti burung beo. Sayyidina Abu Bakr as-Siddiq menghabiskan tujuh tahun untuk memahami Surat Al-Baqarah, menyelami kedalaman dan realitas Al-Qur’an.

Para wali mengajarkan bahwa Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) berkata, “Aku dan risalahku adalah qadeem (kuno) di alam cahaya. Aku adalah Rasulullah di langit.” Di alam cahaya, Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) adalah Nabi Allah (Azza wa Jal), Khalifa (wakil) Allah (Azza wa Jal), yang diciptakan untuk berbicara atas nama Allah (Azza wa Jal). Allah (Azza wa Jal) menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa tidak ada yang bisa mendekati-Nya kecuali melalui hijab (tabir), melalui Nabi, atau melalui ilham di hati.

Tidak ada audiensi langsung dengan Allah (Azza wa Jal). Tidak ada cara untuk mendekati kedekatan Allah (Azza wa Jal). Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) menjelaskan dalam bulan suci Isra dan Mi’raj bahwa tidak ada malaikat yang mencapai “Qaba Qawsayn aw Adna”:

53:7-9 – “Wa huwa bil Ufuqil a’la. (7) Thumma dana fatadalla. (8) Fakana qaba qawsayni aw adna. (9)” (Surat An-Najm)
“Ketika dia [Muhammad (s)] berada di ufuk tertinggi. (7) Kemudian dia mendekat dan semakin dekat. (8) Hingga jaraknya dua panjang busur atau lebih dekat lagi. (9)” (Bintang, 53:7-9)

Bahkan Malaikat Agung Jibril menjelaskan, “Kami memiliki batas. Kami tidak bisa melampaui batas itu.”

Allah Tidak Dapat Didekati: Al-Qur’an 42:51
وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء إنه علي حكيم
“Wama kana libasharin an yukallimahu Allahu illa wahyan aw min wara-ihijabin aw yursila rasoolan fayoohiya bi-ithnihima yashao innahu Aaliyyun hakeem”
“Tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk berbicara dengan Allah kecuali melalui wahyu, dari balik tabir, atau melalui utusan yang menyampaikan apa yang Dia kehendaki dengan izin-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Konsultasi, 42:51)

Kita tidak bisa mendekati matahari, bagaimana mungkin mendekati Allah (Azza wa Jal)? Seperti matahari, semua orang bisa duduk di pantai dan menikmati sinarnya, tetapi tidak ada yang bisa mendekati matahari itu sendiri. Apa yang memberi nutrisi dari cahaya itu, berkah apa yang datang darinya, keberadaan fisik kita bergantung pada cahaya matahari. Namun, tidak ada yang bisa kita ciptakan untuk mendekati matahari.

Allah (Azza wa Jal) berfirman: jika kamu tidak bisa mendekati matahari, apakah kamu pikir malaikat bisa mendekati Kehadiran-Ku? Mereka akan lenyap, menjadi debu.

Hanya Nabi Muhammad (s) yang Mampu Membawa Firman Suci Allah (Azza wa Jal)

Allah (Azza wa Jal) menjelaskan Kehadiran-Nya: firman-Nya adalah Qul, yaitu “Qaaf, wal Qur’an al-Majeed” melalui Lisaan al-Haqq Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam).

ق ۚ وَالْقُرْ‌آنِ الْمَجِيدِ ١
50:1 – “Qaaf, wal Quranil Majeed.” (Surat Qaf)
“Qaaf. Demi Al-Qur’an yang mulia.” (Qaf, 50:1)

Firman itu adalah kekuatan, karena sebelum Al-Qur’an terlihat, itu adalah sumber Hamd (pujian). Itu adalah Hamd Ilahi dari Allah (Azza wa Jal), yang hanya didengar oleh Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam). Tidak ada malaikat yang mendengarnya; hanya Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) yang mampu menangkap frekuensi, kekuatan, dan ‘Izzatullah dari “Ati’ullah wa ati ar-rasula wa ulul amri minkum” (Al-Qur’an, 4:59).

أَطِيعُوا اللَّه وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ…
4:59 – “…Ati‘u Allaha wa ati‘ur Rasola wa Ulil amri minkum…” (Surat An-Nisa)
“…Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” (Wanita, 4:59)

Ini berarti tidak ada yang bisa mengambil kekuatan itu. Ketika pemahaman marifah telah tertanam dalam hati, tidak ada yang bisa mengambil frekuensi, ‘azeemat (keagungan), hamd (pujian), dan kekuatan Allah (Azza wa Jal) kecuali Muhammadun Rasulullah (sallallahu alayhi wa sallam)! Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) menjadikan itu “Qul ya Naaru, kuni bardan wa salaman” (Al-Qur’an 21:69),

21:69 – “Qul ya Naaru, kuni bardan wa salaman ‘ala Ibrahim.” (Surat Al-Anbiya)
“Kami berfirman, ‘Wahai api, jadilah dingin dan selamatkan Ibrahim.’” (Para Nabi, 21:69)

Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) mengambil api itu, ‘izzah (kemuliaan) dan kekuatan agung Allah (Azza wa Jal), dan Allah (Azza wa Jal) menjelaskan: wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘aalameen (Al-Qur’an 21:107).

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ١٠٧
21:107 – “Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil’alameen.” (Surat Al-Anbiya)
“Dan Kami tidak mengutusmu [wahai Muhammad] kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (Para Nabi, 21:107)

Itulah maknanya: Qudrah (kekuatan) Allah akan menghancurkan seluruh ciptaan, tidak ada ciptaan yang mampu menampung kekuatan-Nya, tetapi Allah (Azza wa Jal) membawa rahmat! Arwah (jiwa) dan cahaya Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) diciptakan sebagai rahmat dari Allah (Azza wa Jal), agar Allah dikenal melalui rahmat itu.

Rahmat itu menjadikan frekuensi dan kekuatan Allah (Azza wa Jal) menjadi “dingin dan damai,” seperti transformator di pembangkit listrik yang menurunkan frekuensi tinggi agar bisa diterima.

Allah (AJ) Mengajarkan Rasul Allah yang Abadi

Apa yang didengar Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) dari ‘allamal Qur’an? Tidak ada yang memahami apa yang Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) dengar dari ‘izzah Allah (Azza wa Jal). Apa yang didengar para sahabat dari Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) ketika beliau membaca Al-Qur’an? ‘Izzah apa yang menghiasi mereka? Frekuensi apa yang Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) berikan kepada mereka? Frekuensi apa yang diberikan sahabat kepada tabi’in saat membaca Al-Qur’an? Itu adalah energi, bukan sekadar kata-kata, tetapi frekuensi, energi, dan qudrah dari Allah (Azza wa Jal)!

Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) menjelaskan dalam hadits: kalian harus tahu bahwa aku selalu menjadi Rasulullah (sallallahu alayhi wa sallam).

كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الْمَاءِ وَالطِّينِ
“Kuntu Nabiyan wa Adama baynal maa e wat teen.”
“Aku adalah Nabi ketika Adam masih antara air dan tanah liat.” (Nabi Muhammad sallallahu alayhi wa sallam)

Selama ada ciptaan, itu berasal dari cahayaku. Malaikat berasal dari cahaya Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam), langit berasal dari cahayanya, ‘Arsh ar-Rahman berasal dari cahayanya; segalanya berasal dari cahaya Nabi (sallallahu alayhi wa sallam).

قَالَ: يَا جَابِرُ، إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ قَبْلَ الأَشْيَاءِ نُورَ نَبِيِّكَ مِنْ نُورِهِ، فَجَعَلَ ذَلِكَ النُّورِ يَدُورُ بِالْقُدْرَةِ حَيْثُ شَاءَ اللهُ، وَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ لَوْحٌ وَلا قَلَمٌ، وَلا جَنَّةٌ وَلا نَارٌ، وَلا مُلْكٌ، وَلا سَمَاءٌ وَلا أَرْضٌ، وَلا شَمْسٌ وَلا قَمَرٌ، وَلا إِنْسٌ وَلا جِنٌّ. فَلَمَّا أَرَادَ اللهُ تَعَالَى أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ قَسَمَ ذَلِكَ النُّورَ أَرْبَعَةَ أَجْزَاءٍ: فَخَلَقَ مِنَ الْجُزْءِ الأَوَّلِ الْقَلَمَ، وَمِنَ الثَّانِي اللَّوْحَ، وَمِنَ الثَّالِثِ الْعَرْشَ،… [وَمِنَ الأَرْبَعَةِ كُلُّ شَيْءٍ]
“Ya Jabir, inna Allaha khalaqa qablal ashiya’i noora nabiyyika min noorihi…”
“Wahai Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan cahaya Nabimu dari cahaya-Nya sebelum segala sesuatu…” (Nabi Muhammad sallallahu alayhi wa sallam)

Kemudian renungkan: ‘allamal Qur’an, khalaqal insaan. Siapa yang diajarkan oleh Allah (Azza wa Jal)? ‘Allama? Lalu insaan? Allah (Azza wa Jal) menjelaskan dalam hadits bahwa Dia berkata, “Ya, Aku mengajarkan Al-Qur’an, artinya seluruh firman-Ku selalu ditujukan kepada ruhaniyat Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam). Kemudian insaan ini diciptakan, yang kalian kenal sebagai Sayyidina Adam (alayhi ‘s-salaam).”

Allah Menggunakan Kata ‘Allama (Mengajarkan)

53:2-5 – “Ma dalla sahibukum wa ma ghawa (2) Wa ma yantiqu ‘anil hawa (3) In huwa illa wahyun yoha (4) ‘Allamahu shadeedul quwa.” (Surat An-Najm)
“Sahabat kalian [Muhammad] tidak sesat dan tidak keliru. (2) Dia tidak berbicara dari hawa nafsu. (3) Itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (4) Dia diajarkan oleh yang Maha Kuat.” (Bintang, 53:2-5)

Siapa yang secara abadi diajarkan oleh Allah (Azza wa Jal)? ‘Allama, mengapa? Karena ‘ayn adalah ilmu kuno Allah yang menghiasi laam. Bahkan huroof (huruf-huruf) menjadi daleel (bukti) bagi haqaiq (realitas). Realitasnya adalah bahwa tidak ada yang bisa menampung ‘izzah Allah (Azza wa Jal). Allah memberikan pemahaman dalam marifah: jika Aku letakkan firman-Ku di gunung, gunung itu akan menjadi debu.

لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ…
59:21 – “Law anzalna hadha al-Qur’ana ‘ala jabalin laraaytahu, khashi’an mutasaddi’an min khashyatillahi…” (Surat Al-Hashr)
“Seandainya Kami turunkan Al-Qur’an ini ke atas gunung, niscaya kamu akan melihatnya hancur menjadi debu karena takut kepada Allah…” (Pengusiran, 59:21)

Firman itu terdiri dari hamd (pujian); terdiri dari atom dan molekul yang tidak mampu menampung energi Allah (Azza wa Jal). Tetapi realitas Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) diciptakan untuk tujuan ini. Lisaan al-Haqq (lidah kebenaran) yang Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) jelaskan: “Aku diciptakan untuk berbicara atas nama Allah (Azza wa Jal).” Bukan hanya secara fisik, ini adalah khatim (penutup).

Dalam marifah, satu-satunya cara adalah kamu datang dari langit ke bumi. Kamu membuat parit dari kedudukan surgawimu ke bumi, lalu dari bumi kamu menggali kembali ke langit untuk menyelesaikan siklus. Cahaya langit turun ke bumi, dan dari bumi kamu menggali kembali ke langit. Saat menggali, segalanya diterangi oleh cahaya itu! Seperti membuka pintu air realitas untuk menghiasi. Artinya, tidak ada yang mengetahui realitasnya hingga fisik Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam) tiba di bumi. Semua nabi menunggu untuk mencapai marifah mereka.

Begitu Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) menginjakkan kaki di bumi dan Allah (Azza wa Jal) membuka izin untuk kembali ke realitas, seluruh ciptaan, seperti komet, berada di belakang Nabi (sallallahu alayhi wa sallam), menunggu mencapai marifah mereka. Seperti pergi ke pesta mewah, kamu tidak bisa masuk ke ruang utama sampai tamu kehormatan tiba. Allah (Azza wa Jal) berfirman: dia adalah tamu kehormatan, Aku tidak ingin melihat kalian sampai Habib-Ku (yang tercinta) datang. Tidak peduli apakah kamu nabi, rasul, atau malaikat, kalian semua dari cahayanya (alayhi’s salaat o salaam). Duduklah dan tunggu hingga Mi’raj Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam). Saat itulah mereka memahami realitas mereka.

Mengurai ‘Allama عَلَّمَ – ‘Ayn ع, Laam ل, Meem م

عَلَّمَ الْقُرْآنَ ﴿٢﴾ خَلَقَ الْإِنسَانَ ٣
55:2-3 – ‘Allamal Qur’an. Khalaqal Insaan. (Surat Ar-Rahman)
“Dia yang mengajarkan Al-Qur’an. Dia yang menciptakan manusia.” (Yang Maha Pengasih, 55:2-3)

‘Allamal Qur’an, khalaqal insaan berarti Allah (Azza wa Jal) selalu mengajarkan kepada Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) secara abadi. Huruf-huruf menjelaskan: ‘ayn adalah ilmu kuno-Ku. Sumber setiap realitas berbasis ilmu; setiap ciptaan bermanifestasi dari ilmu, mengalir melalui lisaan, yaitu laam Nabi (sallallahu alayhi wa sallam), Lisaan al-Haqq, lalu ke meem untuk menjelaskan bahwa semua ilmu, semua ‘alim dan ‘aleem, ulama, harus berada dalam Realitas Muhammadan, tetapi sumbernya adalah Nabi (sallallahu alayhi wa sallam). Semua ilmu berasal dari Nabi (sallallahu alayhi wa sallam), dari ‘ayn kuno Allah (Azza wa Jal); Sifat al-‘Aleem menghiasi meem.

Fiqh Membantu Memahami Benar dan Salah

Kembali ke ‘allamal Qur’an, khalaqal insaan, itu adalah ‘azeemat Nabi (sallallahu alayhi wa sallam). Siapa yang mengajarkan malaikat? Syaitan, Azazil. Dia yang mengajar. Mereka ingin kita paham bahwa ilmunya berasal dari bumi, berusaha naik ke langit. Saat kamu belajar fiqh (hukum Islam) untuk memahami apa yang boleh dan tidak boleh, kiri dan kanan, maju dan mundur, jangan pernah berpikir bahwa ilmu dari bumi akan mengangkatmu ke langit. Itu berbeda dari ‘allama.

Yang Belajar Sendiri Memiliki Sifat Buruk

Syaitan belajar dan mengetahui, lalu mulai mengajar malaikat. Allah (Azza wa Jal) ingin menunjukkan pelajaran di kelas, maka Dia mengumpulkan mereka, “Kemarilah, duduk bersama guru yang telah mengajar kalian.” Guru yang belajar dari dunia untuk menuju akhirat biasanya memiliki sifat buruk: kemarahan (ghadab), bicara buruk, licik, berkonspirasi, karena semua itu bercampur dengan sifat buruk sebab mereka belum mencapai tazkiyya (pemurnian jiwa).

Mereka bukan dari ‘allama Allah (Azza wa Jal), di mana Allah berkata, “Kami mengajarkan Sayyidina Khidr (alayhi ‘s-salaam), Kami mengajarkan semua ilmu.”

18:65 – “Fawajada ‘abdan min ‘ibadina ataynahu rahmatan min ‘indina wa ‘allamnahu mil ladunna ‘ilma” (Surat Al-Kahf)
“Mereka menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang Kami berikan rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Gua, 18:65)

Ke-Maha-Kami-an Allah adalah, “Aku mengajar, dan ketika Aku mengajar, mereka memiliki akhlak terbaik; mereka rendah hati, ghashiya, merasa tidak ada apa-apanya, memiliki khushiyya saat bersujud dan menangis kepada Allah (Azza wa Jal).”

Yang belajar sendiri memiliki sifat Syaitan: akhlak buruk, menggunjing, kemarahan, dan segala keburukan. Allah (Azza wa Jal) ingin menunjukkan: guru yang mengajar kalian (malaikat), lihat akhlaknya sekarang, karena Aku akan menjadikan Khalifa-Ku. Artinya, Aku akan menampakkan Khalifa ini.

Mereka tidak melihat Allah (Azza wa Jal); tidak ada yang bisa melihat Allah (Azza wa Jal). Ini semua adalah hijab cahaya. Siapa yang mereka dengar? Mereka mendengar Rasulullah (sallallahu alayhi wa sallam). Mereka tidak tahu dari mana cahaya itu; tidak ada yang mencapai marifah Allah (Azza wa Jal); tidak ada cara untuk melihat Allah (Azza wa Jal).

Kemudian, untuk menempatkan cerita ini pada tempatnya… mereka dipanggil ke alam cahaya dengan hijab cahaya, dan Rasulullah yang abadi mengajarkan mereka, “Kemarilah, penciptaan Adam akan hidup untuk kalian, dan telah diajarkan semua ilmu.”

Malaikat Belajar Sifat Buruk dari Syaitan

Apa yang dikatakan malaikat dari sifat buruk yang mereka pelajari dari Syaitan? “Ya Rabbi, bagaimana Engkau akan menjadikan Khalifa yang akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah?”

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
2:30 – “Wa idh qala rabbuka lil mala’ikati inni ja‘ilun fil ardi khalifatan, qaloo ataj‘alu fiha man yufsidu fiha wa yasfikud dima’a wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka, qala inni a‘lamu ma la ta‘lamoon.” (Surat Al-Baqarah)
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan khalifah di bumi,’ mereka berkata, ‘Apakah Engkau akan menjadikan di sana seseorang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’ Allah berfirman, ‘Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.’” (Sapi Betina, 2:30)

2:30 – “Wa idh qala rabbuka lil mala’ikati inni ja‘ilun fil ardi khalifatan, qaloo ataj‘alu fiha man yufsidu fiha wa yasfikud dima’a wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka, qala inni a‘lamu ma la ta‘lamoon.” (Surat Al-Baqarah)
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan khalifah di bumi,’ mereka berkata, ‘Apakah Engkau akan menjadikan di sana seseorang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’ Allah berfirman, ‘Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.’” (Sapi Betina, 2:30)

Itu bukan sifat asli malaikat; realitas malaikat adalah tasleem (penyerahan diri sepenuhnya). Lalu, apa yang terjadi?

Malaikat mengambil sifat dari seseorang yang belajar sendiri dan memperoleh ilmunya sendiri. Allah (Azza wa Jal) ingin menunjukkan kepada mereka, “Sebagai malaikat, kalian memiliki derajat kesucian yang sangat tinggi. Ketika kalian mengambil ilmu dari seseorang yang belajar sendiri, kalian tidak menyadari sifat-sifat buruk yang ditanamkan dalam diri kalian, yaitu waswas (bisikan); dia menanamkan dalam diri kalian keraguan untuk mempertanyakan ciptaan-Ku, bahwa Aku akan menjadikan Khalifa dan apa yang akan menghiasi Khalifa itu.”

Rasul Allah yang Abadi Mengajarkan kepada Adam (as) – Isma Kullaha

Kemudian, di balik tabir, Allah (Azza wa Jal) berbicara—tetapi melalui siapa? Allah (Azza wa Jal) berbicara secara abadi melalui Rasulullah (sallallahu alayhi wa sallam).

Allah Tidak Dapat Didekati: Al-Qur’an 42:51
وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء إنه علي حكيم
“Wa ma kana libasharin an yukallimahu Allahu illa wahyan aw min wara-i hijabin aw yursila rasoolan fayoohiya bi-ithnihima yashao innahu Aaliyyun hakeem”
“Tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk berbicara dengan Allah kecuali melalui wahyu, dari balik tabir, atau melalui utusan yang menyampaikan apa yang Dia kehendaki dengan izin-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Konsultasi, 42:51)

Dari tabir itu, Allah berkata kepada mereka, “Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui. Sifat yang kalian pelajari dari yang satu itu telah terlihat, dia diusir dari sekolah, turunkan dia ke bumi,” dan dia diusir dari kelas itu.

Allah ingin mengajarkan, lalu mengajarkan apa? Isma kullaha (semua nama).

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا…٣١
2:31 – “Wa ‘allama Adamal asma’a kullaha,…” (Surat Al-Baqarah)
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama…” (Sapi Betina, 2:31)

2:33 – “Qala ya Adamu anbi’hum bi asma’ihim, falamma anba’hum bi asma’ihim qala alam aqul lakum inni a‘lamu ghaibas samawati wal ardi wa a‘lamu ma tubdoona wa ma kuntum taktumoon.” (Surat Al-Baqarah)
“Dia berfirman, ‘Wahai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama itu.’ Ketika Adam memberitahukannya, Allah berfirman, ‘Bukankah Aku telah katakan kepada kalian bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan?’” (Sapi Betina, 2:33)

Begitu Sayyidina Adam (alayhi ‘s-salaam) mulai menyampaikan ilmu-ilmu itu, apa yang dipahami malaikat dari cahaya-cahaya itu? Mereka melihat cahaya dari maqam yang tidak mereka pahami dan tidak mereka capai. Ketika cahaya itu mengalir melalui Sayyidina Adam (alayhi ‘s-salaam), itu adalah Realitas Muhammadan, dan Allah (Azza wa Jal) berfirman, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘aalameen.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ١٠٧
21:107 – “Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil’alameen.” (Surat Al-Anbiya)
“Dan Kami tidak mengutusmu [wahai Muhammad] kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (Para Nabi, 21:107)

“Sekarang Aku menyingkap ciptaan-Ku yang paling penuh rahmat, Aku menyingkap cahaya Nur Muhammadi (sallallahu alayhi wa sallam) ke dalam arwah dan keberadaan Sayyidina Adam (alayhi ‘s-salaam).” Itulah mengapa Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) menjelaskan, “Aku dari Allah (Azza wa Jal) dan ciptaan dari aku.”

Artinya, ‘allama isma kullaha adalah Nabi (sallallahu alayhi wa sallam) yang mengajarkan Sayyidina Adam (alayhi ‘s-salaam) dan memberikan Cahaya Muhammadan kepadanya.

Akibatnya, Allah (Azza wa Jal) menjelaskan: ketika cahaya dan ilmu-ilmu itu datang, Allah berkata, “Apakah kalian mengetahui ini?” Malaikat menjawab, “Subhanaka, ya Rabbi, Maha Suci Engkau, kami hanya tahu apa yang Engkau ajarkan kepada kami, dan kami tahu kami belum diajarkan itu, kami bahkan tidak mendekati cahaya itu,” lalu mereka bersujud kepada cahaya itu—bukan sujud ibadah, tetapi sujud ihtiram (sujud penghormatan)!

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ٣١ قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ ٣٢
2:31-32 – “Wa ‘allama Adamal asma’a kullaha, thumma ‘aradahum ‘alal mala’ikati faqala anbi’uni bi asma’i ha’ula’i in kuntum sadiqin. (31) Qalu subhanaka la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana, innaka antal ‘alimul hakeem. (32)” (Surat Al-Baqarah)
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama. Kemudian Dia menunjukkan mereka kepada malaikat dan berfirman, ‘Beritahukan kepada-Ku nama-nama ini jika kalian benar.’ (31) Mereka berkata, ‘Maha Suci Engkau, kami tidak memiliki ilmu kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ (32)” (Sapi Betina, 2:31-32)

Ketika orang-orang bertanya, “Haruskah kita berdiri untuk Mawlid an-Nabi (sallallahu alayhi wa sallam)?” Allah (Azza wa Jal) menjelaskan bahwa malaikat bersujud sebagai penghormatan atas ilmu dan cahaya-cahaya indah yang mengalir dari Sayyidina Adam (alayhi ‘s-salaam).

Artinya, jalan marifah ini, realitas yang menghiasi, dan tashreef (penghormatan) yang diberikan oleh ilmu tersebut adalah cara untuk mendekati Allah (Azza wa Jal). Cinta Allah (Azza wa Jal) kepada Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam) sungguh tak terbayangkan. Apa yang Allah (Azza wa Jal) anugerahkan kepada realitas dan uloom (ilmu-ilmu) tersebut juga tak terbayangkan.

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ ﴿١٥١
2:151 – “Kama arsalna feekum Rasulam minkum yatlo ‘alaykum ayatina wa yuzakkeekum wa yu’allimukumul kitaba wal hikmata wa yu’allimukum ma lam takunu ta’lamun.” (Surat Al-Baqarah)
“Sebagaimana Kami telah mengutus di antara kalian seorang Rasul dari kalian sendiri, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian, menyucikan kalian, mengajarkan Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang sebelumnya tidak kalian ketahui.” (Sapi Betina, 2:151)

Hanya melalui sekolah-sekolah tarbiyah (pendidikan spiritual) yang mengendalikan sifat-sifat buruk, uloom (ilmu-ilmu) mereka datang dari langit ke hati. Mereka yang berusaha membangun diri dari dunia menuju langit menghadapi perjuangan berat, karena semua sifat buruk akan bercampur dengan ilmu tersebut.

Kami berdoa semoga Allah (Azza wa Jal) menghiasi kami dengan realitas-realitas ini, memberkahi kami dengan realitas ini, dan menganugerahkan kepada kami ilmu-ilmu surgawi yang menerangi jiwa dari langit. Melalui akhlak mulia dari fisik, yang mempersiapkan kedatangan cahaya itu. Ketika tubuh dan nafs telah dikondisikan dan dilatih dengan cara yang Allah (Azza wa Jal) temukan keikhlasan dalam diri seseorang, Dia membersihkan tubuh dan keberadaan itu, sehingga cahaya dapat masuk ke dalam wadah realitas tersebut. Itu adalah cahaya suci Nabi (sallallahu alayhi wa sallam), cahaya penuh berkah Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam), dan itulah Realitas Muhammadan.

Kami berdoa semoga Allah (Azza wa Jal) menghiasi kami di bulan suci Rajab ini, menghiasi kami di bulan suci Sya’ban, dan mempersiapkan kami untuk pembukaan bulan suci Ramadan, di mana Allah (Azza wa Jal) menghiasi dan memberkahi dengan cahaya-cahaya Al-Qur’an, akhlak mulia, dan keindahan Sayyidina Muhammad (sallallahu alayhi wa sallam), insyaAllah.

Subhaana rabbika rabbil ‘izzati ‘amma yasifun wa salaamun ‘alal mursalin wal hamdulillahi rabbil ‘alamin. Bi hurmatil Muhammad al-Mustafa wa bi sirri surat al-Fatiha.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *